Source: http://caramembuat524.blogspot.com/2014/01/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html

Selasa, 24 Juni 2014

Daerah Aliran Sungai

BAB I
PENDAHULUAN


I.2 Latar belakang
            Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian. Namun, produktivitas umumnya rendah, kecuali sistem pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan/perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman pangan semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana 1994).
            Lahan kering terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu umumnya menghadapi masalah kerusakan lingkungan yang makin parah sehingga menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta memacu meluasnya banjir pada musim hujan. Masalah tersebut memerlukan perhatian serius karena dapat menghambat pembangunan pertanian khususnya peningkatan produksi pangan.
            Upaya pemerintah untuk menangani masalah kerusakan lingkungan pada lahan kering di DAS sebenarnya sudah dimulai sebelum perang kemerdekaan. Pada tahun 1950, pemerintah menganjurkan petani untuk menanam pohon-pohonan  secara besar-besaran, dan pada tahun 1967 mulai dianjurkan untuk membuat teras bangku (DHV Consultants 1990). Namun, upaya tersebut belum berhasil. Luas lahan kritis yang pada tahun 1980 mencapai 6.936.408 ha (Biro Pusat Statistik 1981) hanya turun menjadi 6.400.400 ha pada tahun 1994 (Biro Pusat Statistik 1994) atau turun 7,70% selama 14 tahun. Namun, perbaikan tersebut terjadi di luar kawasan hutan (hanya 32%). Di dalam kawasan hutan, luas lahan kritis justru makin meningkat (16,30%) dalam periode yang sama.
           
I.3  PERUMUSAN MASALAH
1.3.1 KONDISI LAHAN KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
            Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS cukup serius. Sukmana et al. (1988) mengemukakan bahwa, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut dimulai pada awal tahun 1970-an melalui proyek DAS Solo, kemudian disusul Proyek Citanduy I dan II, Proyek Wonogiri, dan Proyek Bangun Desa. Pada tahun 1985 dibentuk Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama Upland Agriculture and  Conservation Project (UACP) untuk menangani lahan kritis di DAS Brantas (Jawa Timur) dan DAS Jratunseluna (Jawa Tengah), kemudian National Watershed Management and Conservation Project (NWMKP) yang dimulai tahun 1995 dan berakhir bulan September 1999 (Abdurachman dan Agus 2000).
            Tulisan ini bertujuan untuk membahas permasalahan DAS bagian hulu, mengemukakan program penanggulangan dan implementasinya, serta mengidentifikasi kendala pengembangan dan cara menanggulanginya.




BAB II
DASAR TEORI

II.1 KONDISI LAHAN KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
            Lahan kering di DAS kawasan barat Indonesia pada umumnya mempunyai curah hujan tinggi, topografi curam, dan formasi geologi lemah sehingga tanah peka terhadap erosi. Selain itu, tekanan kepadatan penduduk yang terus meningkat, pola tanam yang kurang baik, lahan usaha tani sempit, serta keadaan fisik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat petani yang sangat heterogen menyebabkan pengelolaan lahan kering di kawasan DAS makin kompleks (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air 1985).
            Dalam upaya menangani lahan kering yang tergolong kritis, pemerintah telah menetapkan 80 DAS yang tergolong kritis karena erosi. Dari 80 DAS bermasalah tersebut, 36 DAS tergolong DAS prioritas, dan 11 DAS di antaranya terdapat di Pulau Jawa, seperti DAS Citarum, Cimanuk, Citanduy, Solo, Jratunseluna, dan Brantas (Sutadipradja et al. 1986). Luas lahan kritis di kawasan DAS tersebut diperkirakan meningkat rata-rata 400.000 ha/tahun jika tidak ada upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang memadai. Peningkatan luas lahan kritis terutama disebabkan oleh pengelolaan yang tidak benar, antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air.
            Hardianto et al. (1992) mengemukakan bahwa umumnya petani di wilayah DAS di Jawa merupakan pemilik penggarap dengan luas pemilikan lahan 0,30–2 ha. Lahan tersebut umumnya berupa areal pemukiman/pekarangan, tegalan, dan perbukitan. Tegalan sebagian besar sudah diteras bangku, sedangkan perbukitan umumnya berupa lahan tandus yang terlantar. Tegalan digunakan untuk budi daya tanaman pangan, pekarangan untuk tanaman tahunan, dan perbukitan untuk tanaman penghasil kayu. Tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung, ubi kayu, padi gogo, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang tunggak. Di samping itu, petani menanam kacang gude, koro benguk, dan koro pedang sebagai tanaman sela. Tanaman tahunan yang dominan adalah kelapa, melinjo, petai, mangga dan pisang, sedangkan tanaman sayuran yang diusahakan adalah cabai, bawang merah, kacang panjang, mentimum, dan tomat. Selain itu, juga diusahakan tanaman penghasil bahan industri seperti kenanga dan randu, penghasil kayu seperti jati, sengon, akasia, johar, dan mahoni, serta tanaman penghasil pakan ternak seperti lamtoro, turi, kaliandra, glirisidia, lamtoro merah, dan flemingia.
            Lebih lanjut Hardianto et al. (1992) menjelaskan bahwa usaha ternak merupakan kegiatan yang cukup penting untuk menambah pendapatan, menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan tanah, dan menghasilkan pupuk organik. Jenis ternak yang banyak dipelihara adalah sapi peranakan ongole (PO), kambing kacang, kambing peranakan etawa (PE), domba gibas, dan ayam buras. Jenis pakan yang diberikan berupa campuran rumput gajah, rumput setaria ditambah hijauan tanaman tahunan dan limbah tanaman pangan. KEPAS (1985) mengidentifikasi permasalahan di daerah lahan kering
sebagai berikut:
  1. Upaya pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa lampau terlalu dipusatkan pada padi sawah, sedangkan lahan kering (termasuk DAS bagian hulu) kurang mendapatkan perhatian sehingga tidak memperoleh keuntungan dari program-program pembangunan yang disponsori pemerintah. Satu-satunya program khusus untuk lahan kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Namun, program ini pun dihadapkan kepada berbagai kesulitan yang antara lain disebabkan oleh relatif kurangnya perhatian, sehingga kondisi infrastruktur yang ada jauh lebih buruk daripada di daerah dataran rendah.
  2. Di daerah lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan cukup tinggi, lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang berlangsung lama telah menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan mengurangi atau menghilangkan lapisan olah tanah.
  3. Modal dan motivasi penduduk terbatas akibat rendahnya pendapatan dan produktivitas lahan. Di samping itu, tipe penguasaan lahan berhubungan erat dengan sistem usaha tani dan konservasi tanah di daerah lahan kering. Pemilikan lahan yang relatif sempit serta sistem sewa dan sakap ikut memberikan dampak  negatif terhadap sistem usaha tani berwawasan lingkungan.
  4. Kegiatan penyuluhan dihadapkan kepada kendala sosial budaya dan prasarana/sarana perhubungan sehingga penyuluhan relatif kurang. Keterampilan petani umumnya hanya bersifat kebiasaan yang diwariskan dan berorientasi pada subsistensi, sedangkan program penyuluhan yang ada seperti penghijauan, perkebunan, dan kehutanan hanya berkaitan dengan aspek tertentu dan kurang menekankan pada partisipasi petani.




BAB III
PEMBAHASAN

III.1 USAHA KONSERVASI YANG SUDAH DILAKUKAN
            Upaya Departemen Terkait Upaya mengatasi masalah lahan kritis di DAS perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis tanah dan iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu perlu diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu perbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat secara penuh (Nelson 1991). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, selanjutnya ditetapkan prioritas penanganan. Dengan memperhatikan dampak yang lebih luas dan kemungkinan keberhasilan yang besar, maka prioritas utama penanganan adalah lahan dengan tingkat kekritisan ringan, yaitu lahan yang berpotensi kritis dan semikritis. Konservasi ditujukan untuk mencegah terjadinya degradasi lebih lanjut dan menghindari hilangnya lahan produktif.
            Prawiradiputra et al. (1995) menjelaskan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia merupakan kegiatan multisektoral sebagaimana dituangkan dalam Program Inpres Reboisasi dan Penghijauan (Inpres No. 8/1976). Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa ada enam instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program tersebut, yaitu Departemen Dalam Negeri (instansi pimpinan), Departemen Kehutanan (perencanaan dan pemantauan), Departemen Keuangan (pengawas keuangan), Departemen Pertanian (bantuan teknis), Departemen Pekerjaan Umum (bantuan teknis), dan Bappenas.
            Pencetusan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) di Gunung Mas, Bogor tahun 1961 ternyata tidak berhasil menghentikan perluasan lahan kritis. Pada tahun 1975, lahan kritis di Indonesia mencapai 10.751.000 ha, tah n 1988 turun menjadi 9.731.000 ha, pada tahun 1993 naik 22% (dibandingkan kondisi 1975) menjadi 13.218.970 ha, atau setara luas Pulau Jawa. Padahal program reboisasi dan penghijauan bertujuan untuk menghentikan proses pengkritisan lahan dan mengurangi jumlah lahan kritis. Untuk meningkatkan usaha reboisasi dan penghijauan, pemerintah mencanangkan Gerakan Satu Juta Pohon (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1985).
            Penghijauan merupakan cara konservasi lahan yang efektif khususnya untuk menjaga fungsi hidrologis lahan di DAS hulu. Erosi dan aliran permukaan masing-masing dapat menurun 95,80% dan 76,90% (Pakpahan et al. 1992). Namun karena penghijauan lebih banyak bertujuan melestarikan sumber daya lahan dibanding kepentingan petani, maka pelaksanaannya banyak menemui hambatan. Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber daya alam (UPSA) masih rendah yaitu 33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi masih perlu ditingkatkan, sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut.
            Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan semata-mata meningkatkan penghasilan petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di bagian hilirnya. Daerah kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan erosi sudah mengancam produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan penyempurnaan teras bangku dengan tanaman penguat teras yang selain berfungsi untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan pakan ternak. Proyek tersebut dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri selaku pelaksana utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air 1985).
            Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola Pembangunan di DAS yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian lahan, kemiringan lahan, kultur teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang berisikan strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pembinaan.
III. 2 Penelitian dan Pengembangan
            Pengelolaan lahan kering di DAS bagian hulu perlu memperhatikan konservasi tanah dan air untuk mencegah penurunan produktivitas lahan akibat erosi oleh air hujan (Suwardjo 1981). Di Indonesia yang memiliki iklim basah, pada umumnya erosi terjadi karena air hujan (Sofijah dan Suwardjo 1979). Sehubungan dengan itu, penanganan lahan kering di DAS Brantas dan Jratunseluna bagian hulu dilakukan dengan usaha tani konservasi yang mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik dan vegetatif dalam suatu pola usaha tani terpadu (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1990). Sasarannya adalah meningkatkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani, menurunkan laju erosi, serta meningkatkan partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air.
Empat model usaha tani konservasi yang diuji yaitu:
ü  Model A: Sistem usaha tani yang dilakukan oleh petani sebagai pembanding.
ü  Model B: Sistem usaha tani konservasi teras bangku, ditanami tanaman pangan dan tahunan pada bidang olah, rumput pakan pada bibir dan tampingan teras, serta melibatkan ternak.
ü  Model C: Sistem usaha tani konservasi teras gulud, ditanami tanaman pangan dan tanaman tahunan pada bidang olah, rumput dan leguminosa pohon pada guludan, dan ternak.
ü  Model D: Sistem usaha tani konservasi teras individu, ditanami tanaman tahunan, rumput, dan leguminosa pohon, serta ternak.
Kesesuaian ketiga model usaha tani introduksi (B,C,D) didasarkan pada kemiringan lahan, kedalaman tanah, kepekaan terhadap erosi, dan pola usaha tani. Model B dan C diarahkan untuk memperbaiki usaha tani di tegalan, atau kemiringan lahan 15−45%, sedangkan model D untuk memulihkan lahan perbukitan yang tandus dengan kemiringan lahan lebih besar dari 45% .
            Tabel 1 menyajikan produksi tanaman pangan, tanaman tahunan, dan tanaman pakan pada setiap model usaha tani. Dua model introduksi (B dan C) menghasilkan produktivitas usaha tani lebih tinggi dibanding model petani (model A). Pada model B dan C, hasil panen selain diperoleh dari tanaman pangan juga dari tanaman tahunan dan pakan ternak, sehingga secara kumulatif memberikan nilai produksi dan pendapatan bersih lebih tinggi (Tabel 2). Pada usaha tani model D, hasil panen lebih mengandalkan pada tanaman tahunan (buah-buahan dan kayu-kayuan), sehingga selama tanaman tersebut belum menghasilkan, tingkat produktivitas usaha taninya masih rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan model petani.
    Setelah tahun ketiga, pendapatan usaha tani dari model B dan C semakin meningkat dan stabil, sedangkan pada model petani relatif tetap. Sebaliknya pendapatan bersih model D setiap tahun berfluktuasi, karena hasil panen masih ergantung pada tanaman kayu-kayuan dan ternak kambing.
            Batas ambang laju erosi setiap model usaha tani konservasi sebesar 10,60 t/ha/ tahun untuk model A, 10,50 t/ha/tahun untuk model B, 8,40 t/ha/tahun untuk model C, dan 5,20 t/ha/tahun untuk model D (Tim Survei Tanah DAS Brantas 1988). Sembiring et al. (1991) mengemukakan bahwa penurunan erosi sampai pada ambang laju erosi terjadi pada dua model introduksi, yaitu model B sebesar 3,20 t/ha/tahun pada 1990/91 dan model C yang mencapai 6,40 t/ ha/tahun pada 1990/91. Pada dua model lainnya (A dan D), erosi telah menurun tetapi masih di atas ambang laju erosi, yaitu berturutturut 20,20 dan 11,40 t/ha/tahun. Penurunan erosi ini diduga karena kondisi teras yang semakin mantap, tanaman penguat teras dan tanaman tahunan sudah berkembang, serta pengelolaan tanaman dan lahan yang semakin baik. Ini terlihat dari nilai crops practice (CP) yang semakin kecil.
III.3 Pemanfaatan Tanaman Tahunan
            Tanaman tahunan mempunyai peran penting dalam meningkatkan pendapatan petani lahan kering di DAS. Setiap tingkat kelerengan, tebal solum dan kepekaan tanah terhadap erosi membutuhkan keberadaan tanaman tahunan dengan proporsi 25–100% (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1987).
            Namun, petani umumnya kurang menyadari manfaat tanaman tersebut sehingga motivasi mereka untuk mengembangkan tanaman tahunan relatif kecil. Sebagai contoh, di Desa Sumberkembar dan Srimulyo (DAS Brantas), tanaman tahunan yang ditanam kurang mendapat perawatan sehingga banyak yang mati (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1988). Penelitian di Desa Kates menunjukkan bahwa keengganan petani untuk memelihara tanaman tahunan selain jeruk disebabkan oleh ketidaktahuan petani akan peran tanaman tersebut (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1989). Di beberapa daerah, tanaman tahunan terutama jeruk berkembang cukup pesat, seperti di Desa Sumberejo (Blitar) dan Desa Kates (Tulungagung) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1988).
            Model analisis di atas kurang memadai untuk tanaman buah-buahan atau pada model/sistem usaha tani lain yang mempunyai komponen tanaman tahunan yang mempunyai nilai ekonomi, seperti kayu, getah, pupuk kompos, dan makanan ternak (Syam et al. 1993). Periode evaluasi P3HTA selama 6 tahun belum menggambarkan nilai ekonomi sepenuhnya dari tanaman tahunan, karena dalam periode tersebut, baru 2–3 tahun tanaman tahunan memberikan manfaat. Berkaitan dengan itu, nilai investasi untuk membuat struktur teknik konservasi belum dihitung sebagai pengeluaran.
            Analisis proyek seharusnya dapat menjangkau periode manfaat ekonomi secara penuh, seperti diuraikan oleh Lutz et al. (1994) dan Current et al. (1995). Akan lebih sempurna bila dianalisis dari dua sisi, yaitu manfaat bagi masyarakat dan individu petani. Namun, dari sisi petani saja sudah cukup memadai karena: 1)  pengambilan keputusan penggunaan lahan dilakukan oleh petani (bukan oleh pemerintah) berdasarkan tujuan, manfaat yang dapat diperoleh dan kendala yang dihadapi, dan 2) penggunaan lahan umumnya tergantung pada sifat-sifat biofisik spesifik lokasi yang bervariasi walaupun dalam luasan yang kecil.
            Analisis proyek perlu dilakukan mengikuti prinsip berikut ini. Pertama, pengaruh erosi terhadap produktivitas berbeda-beda pada setiap titik waktu (misalnya satu tahun) selama periode yang diinginkan. Data setiap titik waktu tersebut kemudian dipakai untuk menduga manfaat tiap tahun. Kedua, penghitungan tersebut diulangi untuk kondisi yang akan dialami jika diterapkan suatu tindakan konservasi. Ketiga, manfaat investasi penerapan teknologi konservasi diperoleh dengan mengurangi nilai kini (net present value) biaya dan manfaat tanpa dan dengan teknologi konservasi. Selanjutnya, manfaat dan biaya marginal dapat dihitung dan diperbandingkan satu
sama lain.





BAB IV
ANALISA

IV.1  PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TANI KONSERVASI LAHAN  KERING
            Prospek Pengembangan Adnyana dan Manwan (1993) mengemukakan bahwa pengembangan usaha tani terpadu berkelanjutan ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu: 1) komitmen kebijakan dan program pemerintah; 2) dukungan eksternal (penyuluhan, kredit, subsidi, pemasaran, serta kelembagaan dan unsur pelayanan lainnya); swasta), dan 4) ketersediaan teknologi. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain sehingga memerlukan pendekatan secara terpadu dalam suatu sistem.
            Sehubungan dengan hal tersebut, teknologi yang diteliti di lahan kering DAS merupakan teknologi usaha tani konservasi yang dikembangkan dari hasil-hasil penelitian verifikasi teknologi, yang terdiri atas komponen teknologi ternak dan pakan, tanaman tahunan/hortikultura, konservasi tanah, dan tanaman pangan. Dalam pelaksanaannya dilakukan perbaikan secara bertahap menuju sistem usaha tani dengan produktivitas yang stabil dan lestari dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan petani. Konservasi tanah diarahkan pada penutupan lahan oleh vegetasi (konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput di bibir dan tampingan teras, pertanaman lorong, dan tumpang sari.
            Hardianto et al. (1992) mengemukakan hasil pengujian teknologi usaha tani konservasi tanah selama enam tahun di Kabupaten Blitar yang termasuk kawasan DAS Brantas. Pola tanam yang diintroduksikan adalah model A: jagung + ubi kayu + kedelai/kacang tanah; model B: jagung + kacang tanah + ubi kayukedelai/ kacang tunggak, rumput setaria, rumput gajah, pisang, adpokat, pepaya; model C: jagung + kacang tanah + ubi kayu-kedelai/kacang tunggak, rumput setaria, rumput gajah, pisang, adpokat, pepaya, dan model D: jagung, sentro sema, lamtoro, pisang, adpokat, jati. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model B dan C dapat menurunkan tingkat erosi sampai di bawah batas ambang dan meningkatkan pendapatan petani, sehingga kedua model tersebut mempunyai prospek untuk dikembangkan. Tanaman pangan yang dominan dan memberikan hasil relatif stabil adalah jagung, ubi kayu, kedelai, dan kacang tanah. Tanaman tahunan seperti kelapa, pisang, dan melinjo mempunyai potensi untuk dikembangkan, demikian juga ternak kambing, karena dapat menambah dan menstabilkan pendapatan petani.
            Usaha tani di wilayah batuan kapur didominasi oleh tanaman pangan (Soemarno et al. 1985), dan ada kecenderungan terjadi pergeseran bertahap dari tanaman pangan yang kurang mempunyai nilai ekonomi seperti ubi kayu ke tanaman lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi, seperti kedelai, kacang tanah, cabai, dan bawang merah. Peluang pengembangan tanaman tersebut cukup besar karena memberikan keuntungan yang relatif tinggi.
            Analisis usaha tani empat pola tanam alternatif menunjukkan bahwa pola tanam kedelai dan kacang tanah dapat meningkatkan pendapatan usaha tani. Dari keempat pola alternatif tersebut, pola III memberikan keuntungan bersih tertinggi (Rp 1.478.350/ha), dan terendah pada pola II (Rp 120.000/ha). Pola I dan IV memberikan pendapatan hampir sama, masing-masing Rp 877.850/ ha dan Rp 873.525/ha. Pada pola III, komponen penerimaan terbesar diperoleh dari hasil penjualan kedelai dan kacang tanah. Kedua komoditas tersebut memberikan hasil cukup tinggi, dan harga jualnyapun cukup baik. Untuk pola II, rendahnya penerimaan disebabkan hasil cabai cukup rendah, hanya 447 kg/ha karena iklim yang terlalu kering atau musim kemarau panjang (Hardianto et al. 1992 dan Sembiring et al. 1991). Di lahan kering Kabupaten Trenggalek dan Malang (Jawa Timur), pemberian pupuk kandang 10−15 ton yang dikombinasikan dengan 200 kg urea, 200 kg TSP, dan 200 kg KCl/ha, memberikan hasil cabai 4,43−5,13 t/ha di Trenggalek dan 5,81−6,50 t/ha di Malang (Hendarto et al. 1991).
            Ditinjau dari aspek konservasi tanah, pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi mempunyai dampak positif terhadap kesuburan tanah, karena petani cenderung memberikan pupuk kandang ke lahan sehingga meringankan biaya investasi. Di samping itu, dengan makin menurunnya tingkat erosi dan sudah membudayanya pemberian pupuk kandang, kesuburan lahan akan meningkat sehingga membuka peluang untuk budi daya tanaman komersial lainnya.
            Selain dari tanaman pangan dan tanaman tahunan, petani model B, C, dan D juga memperoleh pendapatan dari usaha pemeliharaan ternak kambing. Ternak kambing yang diberikan pada tahun 1985 masing-masing 1 ekor pejantan dan 4 ekor induk per petani telah berkembang pesat (Hardianto et al. 1992). Laju peningkatan populasi per tahun tertinggi terjadi pada petani model D, rata-rata 44%, sedangkan pada petani model B hanya 35,60% dan model C 28,90%. Laju kelahiran pada model B dan D relatif tinggi, masing-masing 105,50% dan 102,20%, tetapi pada model C dan D masih rendah masing-masing hanya 56,30% dan 12,60%.
            Kemampuan optimal satu rumah tangga petani, dengan ketersediaan tenaga kerja keluarga 3 orang, dalam memelihara ternak kambing berkisar antara 4−5 ekor. Pemeliharaan kambing di atas 7 ekor dinilai kurang efisien oleh petani, khususnya dalam penggunaan tenaga kerja keluarga, sehingga petani cenderung mengalihkan usahanya ke ternak sapi yang dianggap lebih bernilai.
            Jumlah petani penggaduh pada awal tahun proyek (1985) sebanyak 6 orang. Pada tahun 1988 dan 1990 jumlah penggaduh bertambah masing-masing sebanyak 4 orang, dengan ternak gaduhan berasal dari hasil pengembangan ternak kambing penggaduh pertama. Hal ini menunjukkan bahwa ternak kambing relatif lebih cepat memeratakan subsidi kepada petani lainnya.
IV.2 Faktor Pendukung Upaya Pengembangan
            Abdurachman et al. (1993) mengemukakan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi usaha tani konservasi lahan kering adalah: 1) komitmen dan dukungan pemerintah daerah; 2) adanya keterkaitan peneliti, penyuluh dan kelompok tani; 3) tingkat partisipasi petani; 4) sistem pendukung/ pelayanan; dan 5) kelayakan teknologi anjuran dan tingkat adopsi. Dukungan pemerintah daerah dalam penerapan teknologi konservasi sangat penting karena petani kurang mampu melaksanakan teknologi konservasi secara mandiri. Selain dukungan dari atas, peran kelompok tani dan lembaga-lembaga pedesaan juga sangat penting. Abdurachman et al. (1993) menyimpulkan bahwa integrasi proyek dengan lembaga pedesaan seperti LKMD dan kelompok tani serta adanya kerja sama antara peneliti, penyuluh, aparat desa, dan petani telah memperkuat kemampuan desa dalam pengembangan sistem usaha tani konservasi.
            Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten lapang dan (3−4 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi dengan kelompok tani dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani umumnya sangat baik pada awal proyek, tetapi selanjutnya menurun.
            Telah disadari bahwa peran lembaga pelayanan seperti lembaga pemasaran, perkreditan, dan penyalur sarana produksi sangat penting dalam proses adopsi teknologi usaha tani konservasi di DAS bagian hulu. Selain itu, adanya perbedaan faktor fisik dan sosial-ekonomi petani menyebabkan teknologi yang dianjurkan juga perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada. Rachman et al. (1989) mengemukakan bahwa sistem pertanaman lorong tidak dapat diterapkan di seluruh lahan penelitian karena lahan sudah diteras. Begitu pula pola tanam tidak dapat diseragamkan di semua lokasi karena adanya perbedaan jenis tanah, curah hujan, dan keinginan petani.
            Di lahan kering DAS, petani banyak yang telah mengadopsi teknologi sistem usaha tani konservasi karena mereka sudah mengetahui manfaatnya. Legum penutup tanah misalnya dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan hasil ubi kayu sampai 1 ton gaplek, dan jagung 0,30 ton pipilan kering. Di samping itu, tanaman koro juga dapat menghasilkan biji sekitar 40 kg/600 m2 guludan (Sembiring et al. 1989). Selanjutnya Syam et al. (1989) menyimpulkan bahwa adopsi teknologi bukan hanya terjadi pada petani kooperator, tetapi juga pada petani nonkooperator, seperti teknologi pembuatan teras, penanaman tanaman penguat teras, pembuatan saluran pembuangan air (SPA), pola tanam, dan penggunaan varietas unggul padi gogo dan jagung.
            Terdapat tiga aspek pendukung yang perlu diperhatikan dalam program pengembangan/transfer teknologi usaha tani konservasi kepada petani, yaitu aspek pemasaran, aspek teknis, dan aspek sosial ekonomi.
1.      Aspek pemasaran
            Ketersediaan pasar diperlukan untuk mengimbangi peningkatan produksi. KEPAS (1985) mengemukakan bahwa pemasaran merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan sistem usaha tani. Namun, masalah ini masih merupakan titik lemah bagi petani lahan kering di DAS. Dalam memasarkan hasil kelapa, adpokat, melinjo, dan jeruk, petani lebih banyak bertindak pasif dan menunggu didatangi oleh tengkulak atau pedagang pengumpul, karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan desakan kebutuhan petani. Untuk mendorong petani agar aktif dalam pemasaran hasil, perlu dibentuk rantai tata niaga minimal dari produsen (petani) sampai pedagang penyalur. Untuk memasarkan hasil tanaman semusim, seperti jagung, gaplek, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang dan cabai, petani umumnya tidak menemui kesulitan karena mereka dapat menjualnya langsung ke pasar desa, pasar kecamatan, atau melalui tengkulak yang datang ke desa.

2.      Aspek teknis
            Sembiring et al. (1989) mengemukakan bahwa pembuatan teras bangku dan teras gulud dapat mengurangi erosi secara efektif. Hal ini karena bangunan teras berfungsi untuk: 1) mengurangi panjang lereng sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan, 2) mengatur aliran air ke saluran pembuangan dengan mengurangi penghanyutan; dan 3) meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Penerapan teknik konservasi tanah selayaknya mempertimbangkan tiga hal, yaitu curah hujan, kondisi tanah (kemiringan, ketebalan solum, sifat tanah), dan kemampuan petani (biaya, waktu dan tenaga kerja keluarga yang tersedia).
            Rachman et al. (1989) mengemukakan bahwa hampir seluruh petani telah menerapkan teknologi teras bangku tanpa memperhitungkan kesesuaiannya dengan jenis dan kondisi tanah. Akibatnya bangunan teras sering rusak, seperti tampingan teras runtuh, bidang teras bergeser, dan tanaman penguat teras lepas. Di samping itu, air drainase lebih terpusat  
            Teknik konservasi alternatif yang lebih sesuai untuk tanah dangkal dan tanah yang didominasi liat 2:1 adalah teras gulud atau pertanaman lorong. Hal tersebut didukung oleh Fagi et al. (1988) yang mengemukakan bahwa bangunan teras bangku terbukti tidak stabil pada tanah bertekstur berat dan mengandung mineral liat 2:1 (Vertisol/Grumusol), serta tanah yang bersolum dangkal. Begitu juga Suwardjo et al. (1984) menyatakan bahwa usaha pencegahan erosi dengan pembuatan teras bangku memang cukup baik, tetapi hanya sesuai untuk tanah yang mempunyai solum dalam dengan bahan induk tanah dari bahan vulkan. Pada tanah bersolum dangkal, atau yang bersolum dalam tetapi kaya akan unsur beracun seperti Al dan Fe, pembuatan teras bangku kurang baik untuk pertumbuhan tanaman pangan.
            Penanganan lahan perbukitan tandus masih belum memberikan hasil memuaskan sehingga usaha tani konservasi dengan teras individu perlu disempurnakan. Alternatif perbaikan yang dapat ditempuh adalah penanaman tanaman leguminosa yang dapat tumbuh cepat sehingga cepat menutup tanah, serta tahan terhadap kondisi tanah marginal.
            Beberapa jenis tanaman leguminosa yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis dengan jenis tanah Troporthent adalah koro pedang (Canavala ensiformis), koro benguk (Mucuna pruriens), gude (Cajanus cajan), dan komak (Dilichos lablab). Koro pedang dapat berproduksi 1,80 t biji/ha dan 0,36 t pupuk hijau/ha dengan kemampuan penutupan tanah 90%. Koro benguk menghasilkan 0,51 t biji/ha dengan penutupan tanah 90%. Gude menghasilkan 0,53 t biji/ha dengan penutupan tanah 70%, serta komak menghasilkan 1,04 t biji/ha dengan penutupan tanah 90% (Sembiring et al. 1989). Produk tanaman leguminosa tersebut, selain dikonsumsi juga dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, serta daunnya dapat digunakan sebagai pupuk hijau. Penanaman leguminosa dapat dilakukan dengan biaya rendah.
3.      Aspek sosial ekonomi
            Tingkat migrasi penduduk yang cukup tinggi merupakan gejala umum di daerah lahan kering DAS, sehingga jumlah tenaga kerja produktif di desa menjadi terbatas. Tingginya tingkat migrasi tersebut berkaitan dengan perbaikan tingkat pendidikan kaum muda dan rendahnya kesempatan berusaha di desa. Di masa mendatang, keterbatasan tenaga kerja keluarga merupakan kendala pengembangan usaha tani yang menuntut curahan tenaga lebih intensif. Modal juga merupakan kendala pengembangan, khususnya untuk budi daya tanaman komersial yang membutuhkan modal relatif besar, sehingga hanya petani mampu saja yang dapat mengusahakannya.
            Petani yang bermodal lemah hanya dapat mengusahakannya dalam jumlah terbatas. Hasil penelitian di DAS Jratunseluna memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kelompok umur kepala keluarga dengan aktivitas luar usaha tani. Kepala keluarga usia muda cenderung lebih aktif bekerja di luar usaha tani, terutama pada kelompok usia 35−44 tahun (Rahmanto et al. 1989).
            Luas penguasaan lahan yang relatif sempit menyebabkan petani tidak dapat memanfaatkan tenaga kerja secara produktif serta pendapatan yang diperoleh dari usaha tani belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya (Napitupulu 1979). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, petani aktif pada berbagai kegiatan produktif di luar usaha tani. Menurut Kristianto (1985), dalam melakukan kegiatan usaha tani petani umumnya hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
            Petani mengelola usaha taninya selama musim hujan, yaitu 5−6 bulan dalam setahun. Setelah panen selesai, lahan diberakan dan petani mencari pekerjaan lain di desanya atau di kota terdekat untuk mendapat tambahan pendapatan.
            Teknologi usaha tani konservasi lahan kering sudah cukup banyak, baik yang bersifat komponen tunggal maupun gabungan beberapa komponen yang saling memperkuat, misalnya penanaman rumput pakan unggul pada teras bangku dan pengelolaan pakan/limbah pertanian untuk meningkatkan produktivitas ternak.
            Di samping itu, tanaman pangan atau hortikultura yang ditata berdasarkan pola tanam yang sesuai dapat meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi erosi tanah. Teknologi konservasi tersebut sudah disampaikan kepada petani oleh P3HTA melalui demonstrasi model usaha tani dan oleh Sustainable Upland Farming System (SUFS) melalui demplot.
            Namun, tampaknya proses adopsi teknologi hanya terjadi pada petani kooperator dan itu pun tidak secara berkelanjutan, misalnya bibir teras ditanami lagi dengan ubi kayu, varietas tanaman pangan kembali ke varietas lokal, dan sisa panen tidak dikembalikan ke dalam tanah atau dibakar (Abdurachman
et al. 1993).
            Agar petani mau dan mampu menerapkan teknologi konservasi sederhana dan murah, P3HTA melaksanakan penelitian usaha tani dengan pendekatan bottom-up yaitu partisipasi petani diberi prioritas. Pendekatan ini sangat memperhatikan kelemahan petani dalam hal permodalan dan pengetahuan, serta besarnya ketergantungan pada alam. Namun, tingkat adopsi teknologi oleh petani tetap masih rendah yang antara lain
disebabkan oleh:
  • Partisipasi penyuluh masih kurang dan jumlah penyuluh terbatas, sehingga perannya masih perlu ditingkatkan Setiani et al. 1991).
  • Penyuluhan dan pembinaan petani lebih bersifat perseorangan (bukan kelompok tani) karena lokasi petani yang berjauhan.
  • Meskipun penelitian memperhatikan usaha tani sebagai suatu sistem, dalam kenyataannya penelitian komponen teknologi lebih menonjol, sehingga kesimpulan yang diperoleh juga bersifat komponen atau parsial.
  • Peneliti mendapat kesukaran dalam menganalisis data karena kurangnya ulangan/perlakuan, materi kurang seragam, data kurang lengkap (petani melakukan panen tanpa sepengetahuan peneliti, karena petak percobaan tersebar), dan sering kali peningkatan produksi tidak nyata karena masukan rendah.
            Sehubungan dengan hal itu, pengembangan sistem usaha tani konservasi perlu dilakukan dengan memperhatikan tiga hal, yakni: 1) bertitik tolak dari kondisi, kebutuhan, partisipasi dan aspirasi petani; 2) berorientasi pada pemecahan masalah petani dan wilayah; dan 3) melibatkan peneliti interdisiplin yang bekerja sama dengan penyuluh, petani dan pihak terkait lainnya.
            Pengukuran dampak dan manfaat penerapan teknologi konservasi dilakukan dengan mengikuti pendekatan sebelum dan sesudah pengembangan (before and after approach) pada lokasi tempat teknologi dirakit. Untuk daerah lain yang memiliki kondisi yang sama digunakan pendekatan nol-satu (zero one approach) atau kooperator vs nonkooperator.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 KESIMPULAN
            Permasalahan lahan kritis terutama di DAS bagian hulu perlu mendapat perhatian yang besar, karena 45% DAS tergolong prioritas dan 27,50% merupakan superprioritas.
            Akumulasi permasalahan terjadi karena selama ini program rehabilitasi dan konservasi lahan kurang memadai. Petani yang umumnya miskin mempunyai lahan garapan sempit dan menggunakan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak disertai tindakan konservasi yang tepat. Di samping itu, program pemerintah kurang memfokuskan perhatian kepada partisipasi petani karena kendala sosial budaya, serta sarana/prasarana perhubungan.
            Berbagai program penelitian dan pengembangan model rakitan teknologi usaha tani konservasi dapat memberikan sumbangan besar terhadap pengelolaan DAS bagian hulu. Model yang dirancang tidak saja bertujuan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, tetapi juga untuk melindungi infrastruktur di bagian hilirnya. Di DAS Brantas bagian hulu, penerapan model yang tepat dapat menurunkan erosi 24– 69% di bawah batas ambang erosi, selain meningkatkan produksi.
            Pengembangan teknologi usaha tani konservasi perlu didukung oleh pemerintah daerah, kerja sama peneliti, penyuluh dan petani, lembaga pelayanan, dan partisipasi petani. Dukungan yang kurang optimal akan menyebabkan pengembangan atau adopsi teknologi usaha tani konservasi oleh petani menjadi terhambat.
V.2 SARAN
Dalam evaluasi teknologi usaha tani konservasi perlu digunakan analisis proyek sehingga informasi yang didapat lebih sempurna. Setiap DAS mempunyai karakteristik yang spesifik sehingga memerlukan rakitan teknologi yang spesifik lokasi.
Partisipasi petani dalam pengelolaan DAS perlu diperluas, tidak hanya dalam tahap pengembangan teknologi dan adopsi tetapi juga dalam pengelolaan DAS. Pada tahap perbaikan teknologi, formulasi kebijakan perlu ditekankan pada upaya mendorong partisipasi masyarakat. Pada tahap awal, peran pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberikan subsidi, dan pada tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta agar berinvestasi di lahan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Tim Survei Tanah DAS Brantas. 1988. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Detail DAS Brantas Hulu, Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, Propinsi Jawa Timur. No.31/PPT/1988. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Bappeda Tingkat I Jawa Timur–Pusat Penelitian Tanah, Bogor. 185 hlm.

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Sistem Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. 85 hlm.

Abdurachman, A., D. Lubis, dan H.M. Toha. 1993. Penelitian pengembangan sistem usaha tani konservasi di DAS bagian hulu. Risalah Penelitian Pengembangan Sistem Produksi Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 235−248









Tidak ada komentar:

Posting Komentar